2019 Dengue dalam era digital

Hasil gambar untuk dengue digital

DENGUE  DALAM  ERA  DIGITAL

fx. wikan indrarto*)

disampaikan dalam seminar pra pelantikan Pengurus IDI Wilayah DIY dan IDI Cabang se DIY, pada hari Minggu, 23 Juni 2019, di Grand Dafam Hotel, Banguntapan, Yogyakarta

.

Kejadian penyakit dengue pada 1 Februari 2019 tercatat 15.132 kasus dengan angka kematian mencapai 145 jiwa di seluruh Indonesia. Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, provinsi dengan kasus dan kematian akibat dengue paling tinggi adalah Provinsi Jawa Timur dengan 3.074 kasus dan 52 kematian. Sejak Januari 2014 telah diterapkan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang mengatur pembiayaan pasien oleh BPJS Kesehatan, termasuk pasien dengue. Bagaimana pembiayaan pasien dengue dalam era JKN dan digital ini?

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/04/2019-dengue-dalam-era-jkn/

.

Pada era JKN dengue merupakan kasus yang harus dilayani secara tuntas di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) dan tidak boleh dirujuk ke FKTL (Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut), sesuai dengan ketentuan Konsil Kedokteran Indonesia (2014). Menurut Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013, Permenkes Nomor 71 tahun 2013 dan Surat Edaran Nomor HK/MENKES/31/I/2014, cakupan pelayanan rujukan segera ke UGD RS yang pembiayaannya dapat dijamin haruslah sesuai dengan kriteria gawat darurat, yaitu hanyalah shock berat (profound), dengan nadi pasien tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, termasuk dengue berat atau DSS.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/08/2019-eliminasi-dengue/

.

Oleh sebab itu, perangkat digital seharusnya dapat digunakan oleh para dokter dalam menuntaskan dengue di FKTP dan memprediksi kegawatan, agar tidak terlambat untuk dirujuk ke FKTL. Namun demikian, perangkat digital untuk dengue, saat ini baru dimanfaatkan dalam aktivitas non klinik, yaitu dalam aspek administrasi dan kebijakan. Misalnya ‘Dengue Track, digital disease surveillance and eHealth’, buatan  Harvard Medical School and Boston Children’s Hospital USA tahun 2014. Juga ‘Digital Disease Detection’, sebuah program survelance digital di Filipina, Pakistan, Sri Lanka dan Puerto Rico sejak tahun 2014, dalam pengawasan, pencegahan dan pengendalian dengue, untuk melakukan intervensi dan membatasi dampak wabah penyakit dengue. Selain itu, ada ‘Dengue Cover+’, sebuah program digital untuk asuransi jiwa yang diluncurkan oleh Digi Telecommunications Sdn Bhd (Digi), Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2014 dan ‘new digital map on dengue outbreaks’, yang dibuat di Taiwan tahun 2015. Semua program digital untuk dengue non klinik tersebut belum dapat diaplikasikan di Indonesia.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/27/2019-vaksin-dengue/

.

Secara klinik, dalam era JKN ini dengue merupakan kasus yang harus dilayani secara tuntas di FKTP dan tidak boleh dirujuk ke RS atau FKTL. Sebaliknya, pasien dengue yang dirujuk ke poliklinik, bukan UGD RS, harus sesuai dengan Permenkes 64 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan, dengan diksripsi INA CBGs infeksi akut dan kode Q5350. Untuk kasus Dengue yang dilakukan rawat inap non emergency dengan kodeA-4-12-I untuk DEMAM RINGAN sampai kode A-4-12-III untuk DEMAM BERAT, juga harus mengikuti ketentuan Permenkes Nomor 51 Tahun 2018, tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya. Kedua jenis kasus dengue tersebut harus dikelola dengan kendali biaya dan kendali mutu secara baik, agar tidak menimbulkan selisih biaya negatif dan berpotensi gagal klaim, yang merugikan kesehatan finansial dan keuangan RS.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/05/18/2019-vaksin-dengue-fda/

.

Dengan adanya kendali biaya tersebut, diperlukan sebuah kriteria baru yaitu faktor prediktor dengue, yang dapat digunakan untuk menduga (memprediksi) terjadinya perburukan gejala klinis dengue pada hari kritis, yaitu hari ke 4 dan 5 demam. Beberapa tanda klinis sederhana yang dapat digunakan sebagai faktor prediktor adalah muntah, demam tinggi, nyeri perut hebat, gemuk dan riwayat kontak dengan penderita dengue berat. Dengan berpegang pada faktor prediktor buruk tersebut, maka hampir sebagian besar penderita dengue, sebenarnya dapat menjalani penanganan rawat jalan di FKTP dengan kontrol terjadwal, bukan dirujuk ke poliklinik RS. Hanya penderita dengue dengan satu atau lebih faktor prediktor tersebut yang memerlukan rujukan dan rawat inap di RS, dengan penjaminan biaya oleh BPJS Kesehatan, tanpa menimbulkan selisih bayar negatif bagi RS.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/04/24/2019-dokter-digital/

.

Aplikasi digital seharusnya mampu membantu dokter dalam kedua hal tersebut, yaitu pemantauan klinik secara rawat jalan dan pengenalan faktor prediktor untuk rujukan ke RS tanpa terlambat. Namun demikian, perangkat digital untuk sisi klinik dengue di Indonesia, baru berupa sebuah perangkat lunak digital yang dapat menggantikan proses penghitungan trombosit secara manual menggunakan MATLAB 7.0. Program ini dikembangkan oleh Sudi Winanto dari Fakultas Teknik Informatika, Universitas Telkom Bandung tahun 2007.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/11/2019-dokter-virtual/

.

Dalam waktu dekat, salah satu dari lima jenis teknologi kesehatan digital yang paling unggul di tahun 2019 menurut Reenita Das pada Majalah bergengsi Forbes 4 Februari 2019, sangat mungkin akan dapat digunakan oleh dokter di Indonesia, dalam tatalaksana dengue. Kelima jenis teknologi tersebut meliputi pertama, kecerdasan buatan dalam pemeriksaan pencitraan radiologi. Kedua, bedah robotik, ketiga data tunggal untuk penjaminan asuransi kesehatan, keempat penyatuan data pasien dari berbagai rekam medik, dan kelima adalah uji klinis virtual. Kecerdasan buatan radiologi dan bedah robotik, sangat mungkin tidak berperan dalam tatalaksana digital dengue. Penjaminan asuransi kesehatan, penyatuan data rekam medik dan uji klinis virtual, tentu akan dapat bermanfaat dalam tatalaksana digital dengue. 

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/06/07/2019-hoaks-medis/

.

Penjaminan asuransi kesehatan digital sebagaimana ‘Dengue Cover+’ buatan Digi Telecommunications Sdn Bhd (Digi), Kuala Lumpur, Malaysia, tentu perlu integrasi program dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) di semua RS dan BPJS Kesehatan. Untuk penyatuan data rekam medik, InterSystems, sebuah vendor sistem informasi RS yang telah mampu mengintegrasikan data pasien dari 23 RS, 655 klinik, dan 18.500 dokter praktek mandiri di AS, tentu system serupa tidak lama lagi dapat digunakan di Indonesia. InterSystems telah mampu membuat registrasi pasien secara terpadu, memiliki satu miliar poin data, berupa penilaian faktor risiko penyakit, keterlibatan pasien, dan pemantauan pasien secara jarak jauh. Program serupa tentu dapat diatur sebagai alat pemantau dengue secara digital setelah pasien dilakukan pemeriksaan jasmani, oleh dokter di FKTP untuk masing-masing pasien, sesuai hari demam. Uji klinis jarak jauh yang terintegrasi tentang dengue, dapat meniru uji klinis diabetes VERKKO fase IV dengan mengukur kadar glukosa darah nirkabel berkemampuan 3G, yang menghabiskan waktu 66% lebih sedikit dalam kegiatan koordinasi penelitian dan mencapai tingkat kepatuhan 18% lebih tinggi, dengan potensi untuk menghemat biaya hingga $ 10 juta setiap uji klinik.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/12/06/2018-bisnis-medis-dokter/

.

Layanan dokter pada era digital lainnya adalah penggunaan teknologi ‘Human–Machine Interface’, misalnya menggunakan ResearchKit®, sebuah menu terbuka (open-source platform) produksi Apple, yang memungkinkan para dokter mengambil data pasien melalui HP (mobile apps). Saat ini ResearchKit® baru mampu mendeteksi gangguan emosi, mendiagnosis autisme, asma, memprediksi serangan epilepsi, dan memetakan pertumbuhan sel ganas mole untuk kanker kulit melanoma, yang memudahkan dokter saat memberikan layanan. Untuk pasien dengue, alat ini perlu modifikasi sedikit agar memiliki kemampuan mengenali faktor prediktor buruk dengue, sehingga dapat memilah pasien dengue yang memerlukan pemantauan ketat dan yang tidak. Alat ini akan mampu melakukan kalkulasi faktor muntah, demam tinggi, nyeri perut hebat, gemuk dan riwayat kontak dengan penderita dengue berat, pada hari awal demam.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/05/13/2019-peran-lengkap-dokter/

.

Selain itu, ResearchKit® ini juga akan mampu mengenali tanda bahaya dengue pada setiap satuan waktu misalnya setiap 12 jam, pada hari ke 4 dan 5 demam. Data tanda bahaya dengue yang dikombinasikan dengan data tanda vital pasien, akan membantu dokter untuk segera melakukan pemeriksaan fisik dan melakukan  rujukan ke RS secara tidak terlambat. Data tanda bahaya dengue (WHO, 2009) adalah nyeri perut, muntah berkepanjangan, akumulasi cairan tubuh karena kebocoran plasma, perdarahan mukosa, letargi atau kelemahan umum, pembesaran hati atau hepatomegali > 2 cm, dan kenaikan nilai hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/04/27/2019-sisi-buruh-dokter/

.

Teknologi digital lainnya adalah “tricorder medis”, yang bahkan hampir setiap orang akan memiliki teknologi ini dalam genggaman. Hanya dengan menempelkannya pada dahi, pasien dapat mengukur suhu, detak jantung, saturasi oksigen, kekentalan darah atau hemokonsentrasi, tekanan nadi, dan tekanan darah dengan alat tersebut. Setelah diperiksa jasmani oleh dokter, pasein di rumah akan mampu memberikan data dengan meng-upload melalui HP kepada dokter. Untuk pasien dengan penyakit jantung atau mengalami risiko kardiomiopati dengue, juga telah tersedia perangkat pintar Band-Aids®, yang akan mengirimkan informasi ‘real-time’ data EKG, suhu, denyut jantung, tingkat stres, atau kalori yang terbakar melalui Web atau sambungan internet kepada dokter yang merawatnya.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/10/12/2018-dokter-4-0/

.

Oleh sebab itu, pada era digital ini definisi konsultasi dokter, kunjungan medis atau visite dokter dengan demikian perlu juga dirumuskan ulang, karena berbeda dengan layanan dokter secara konvensional. Meskipun masih banyak dokter yang enggan (reluctant) untuk melakukan kunjungan medis virtual, tetapi sebuah perusahaan asuransi kesehatan yang besar di USA, telah berani menjamin pembiayaan untuk maksimal 20 juta kunjungan medis virtual menggunakan video, untuk semua nasabahnya sepanjang tahun 2016. Keengganan dokter sering terjadi karena terkait kesulitan dalam proses tagihan finansial. Sebagai pasien, kunjungan virtual tentu lebih mudah, tetapi cukup banyak yang kawatir tentang rahasia kedokteran dan privasi sesuai standar HIPAA (Health Insurance Portability and Accountability Act). Kemajuan teknologi digital jauh lebih cepat daripada aspek hukum, pengaturan, atau pembayaran.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/01/31/2019-paska-rumah-sakit/

.

Dr. Melanie Walker, Profesor Neurologi di University of Washington dan Johns Hopkins School of Medicine, USA dalam paparannya di ‘the World Economic Forum’ Davos 2018, memprediksi teknologi layanan kesehatan di RS. Pada tahun 2030, epidemi penyakit akan semakin terganggu (disrupted) oleh teknologi, sehingga RS mungkin memiliki jenis penyakit yang jauh lebih sedikit untuk dikelola, karena lebih banyak pasien dapat dilayani secara virtual rawat jalan di klinik atau FKTP. Layanan dengue secara virtual oleh dokter di FKTP, akan membuat bangsal perawatan pasien di RS yang saat KLB dengue sering dipenuhi pasien, kelak justru hanya akan digunakan untuk proses diagnosis dan perawatan dengue berat saja, khususnya di PICU atau NICU. Sebuah perangkat pemindaian digital tunggal juga akan mampu memberikan gambaran detail dalam aspek metabolik, fungsional, dan struktural pasien dengue berat, karena mampu menggabungkan perhitungan fisika spektroskopi, resonansi magnetik, dan radiasi. Dengan demikian dokter hanya perlu satu tindakan pemindaian virtual, dan tidak memerlukan sebuah tindakan invasif yang menyakitkan pasien dengue berat, seperti pemasangan vena sentral.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/02/08/2019-eliminasi-dengue/

.

Teknologi kedokteran digital telah tersedia, sehingga sekarang diperlukan definisi ulang (reshape) hubungan dokter dengan pasien dengue secara digital. Oleh sebab itu, sebaiknya para dokter melatih diri agar profesional secara digital, juga mengadvokasi IDI sebagai organisasi profesi dokter, pemerintah, penjamin biaya pasien seperti BPJS Kesehatan, dan kelompok lain, untuk memulai penggunaan teknologi digital ini di seluruh Indonesia.

.

Sudahkah kita siap menjadi dokter digital untuk pasien dengue dalam era JKN?

Sekian

Yogyakarta, 19 Juni 2019

*) Pengurus IDI Wilayah DIY, Dokter spesialis anak dan Ketua Komite Medik di RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA: 081227280161, e-mail : fxwikan_indrarto@yahoo.com

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.