2019 Dilema Akreditasi RS

Hasil gambar untuk akreditasi rs

DILEMA  AKREDITASI  RS

fx. wikan indrarto*)

Pada awal Januari 2019 yang lalu, sejumlah rumah sakit (RS) mengalami pemutusan kontrak kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang disebabkan proses akreditasi RS yang belum usai, atau memang RS belum pernah terakreditasi sama sekali. “Pemutusan kontrak tersebut tidak perlu terjadi, jika dari awal RS telah berkomitmen untuk melakukan akreditasi.” kata Ketua Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Dr. dr. Sutoto, MKes pada hari Minggu, 6 Januari 2019. Mengapa akreditasi RS terasa sulit?

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/01/31/2019-paska-rumah-sakit/

.

Masyarakat memiliki hak atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk RS, yang layak. Pemerintah memiliki kewajiban melindungi hak masyarakat tersebut, yang dijalankan melalui proses akreditasi RS, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 99 Tahun 2015, yang menyebutkan RS harus memenuhi persyaratan, salah satunya adalah terakreditasi. Data Kemenkes RI pada hari Senin, 8 Januari 2019, jumlah rumah sakit di Indonesia sebanyak 2.817 RS. Sementara berdasarkan data KARS pada tanggal yang sama, jumlah RS yang terakreditasi baru sebanyak 1.988 RS.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/12/18/2018-rumah-sehat/

.

Namun demikian, Persatuan Pemilik Rumah Sakit Swasta Nasional (Persana) merasa terbebani dengan biaya akreditasi yang ditetapkan oleh KARS. Bahtiar Husain, Komisi Hukum Persana pada hari Rabu, 9 Januari 2018 mengatakan bahwa minimal biaya proses akreditasi mencapai Rp. 150 juta untuk rumah sakit kecil tipe D. Angka tersebut hampir dua kali lipat dari total biaya akreditasi yang dipungut KARS, yaitu senilai Rp. 87 juta. Apalagi untuk RS dengan tipe yang lebih besar, tentu saja memerlukan biaya yang juga jauh lebih besar, sehingga sering sekali menjadi dilema finansial bagi banyak RS. Untuk itu, diperlukan berbagai usulan langkah efisiensi biaya akreditasi, karena KARS telah menjadi sebuah badan besar (super body) yang memonopoli proses akreditasi RS di seluruh Indonesia.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2018/10/01/2018-hut-jogja-sehat/

.

Menurut usulan Dr. dr. Budi Santoso, Sp.THT-KL, MSc dari RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Jawa Tengah, langkah awal adalah dalam dimensi hukum kesehatan. Langkah pertama adalah mengkoreksi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 417/Menkes/Per/II/2011 Tentang KARS. Koreksi dilakukan sesuai dengan Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu penyempurnaan terhadap penyelenggaraan Akreditasi RS, dalam hal ini dengan semangat desentralisasi KARS.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/04/18/2019-akses-sehat/

.

Pada bulan Agustus 2017, KARS telah memperkenalkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1 (SNARS 1), yang diberlakukan mulai tahun 2018. Dengan diberlakukan SNARS 1 sebagai acuan untuk penilaian dan persiapan akreditasi RS, maka pada sistem desentralisasi SNARS Edisi 1 tetap digunakan sebagai rujukan  borang. Selain itu, sebaiknya disusun Sistem Informasi Manajamen RS (SIMRS) oleh Kemenkes RI, yang memuat menu akreditasi secara digital atau elektronik, yang dibagikan secara gratis ke seluruh RS di Indonesia. Kalau hal ini terlalu rumit, dapat juga disusun formulir borang akreditasi oleh Kemenkes RI, bekerjasama dengan organisasi RS seperti PERSI, Arsada atau ARSSI, sehingga semua RS dipermudah dengan tinggal mengaplikasikan sesuai dengan kelas atau tipe RS, dan fasilitas minimal yang harus tersedia di RS.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/04/18/2019-akses-sehat/

.

Desentralisasi KARS sebaiknya dilakukan ke tingkat propinsi dalam koordinasi Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, yaitu setiap provinsi wajib memiliki tim surveyor akreditasi, yang berperan untuk membimbing dan melakukan survey penilaian akreditasi RS. Tim surveyor tersebut berasal dari semua RS yang ada di propinsi yang sama, dan setiap RS juga wajib memiliki tim surveyor internal, sesuai jumlah Pokja yang akan diakreditasi. Personal anggota tim surveyor internal RS di setiap propinsi wajib disertifikasi oleh KARS Pusat, bekerjasama dengan Tim Survey Akreditasi tingkat Propinsi. Penilaian akhir proses akreditasi sebaiknya tetap berada di bawah kewenangan KARS pusat, dan baru secara bertahap dapat dilakukan desentralisai juga setelah 2-3 tahun.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/03/13/2019-kepemimpinan-sehat-oleh-perempuan/

.

Semua RS di wilayah propinsi wajib terjadwal oleh tim survey akreditasi propinsi, sehingga tidak perlu melakukan pendaftaran, yaitu minimal 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat akreditasi habis. Saat pelaksanaan akreditasi atau reakreditasi RS, tim surveyor diatur lintas kabupaten terdekat, agar biaya transportasi dan akomodasi dapat lebih murah, lebih cepat, dan juga menyenangkan. Dengan demikian biaya akreditasi RS akan dapat tercapai semurah mungkin, sehingga tidak ada RS yang akan mengalami keterlambatan proses akreditasi atau reakreditasi.

.

baca juga : https://dokterwikan.wordpress.com/2019/01/09/2019-biaya-uhc/

.

Dengan semangat desentralisasi akreditasi, diharapkan tidak akan ada pemutusan kerjasama BPJS Kesehatan dengan RS, dengan alasan belum tersertifikasi dan dilema akreditasi dapat diatasi. Peserta Program JKN pada hari Rabu, 1 Mei 2019 yang sudah sebanyak 221.105.092 orang akan tetap dapat dilayani di 2.276 buah RS yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Dampak selanjutnya adalah para pasien, dokter, pemilik dan petugas RS lebih nyaman, karena memiliki sistem penilaian akreditasi RS yang sederhana, murah, dan baik.

Apakah kita sudah bijak?

Sekian

Yogyakarta, 14 Mei 2019

*) Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.