2010 NOSTALGIA DI FLORES

 

NOSTALGIA DI FLORES

fx. wikan indrarto*)

Untuk merayakan rahmat Tuhan bagi keberhasilan sekolah anak-anak, kami merencanakan jalan-jalan (pesiar) untuk bernostalgia ke Pulau Flores, di Nusa Tenggara Timur. Di sanalah kami pernah bertugas  saat menjalani masa WKS (Wajib Kerja Sarjana) sebagai dokter umum tahun 1992-95 dan mas Yudhi, anak kami yang sulung, dilahirkan. Kami berangkat dari Yogyakarta hari Rabu, 23 Juni 2010 pk. 16.05 wib dengan KA Ekskutif Sancaka dari Stasiun Tugu, Yogyakarta ke Surabaya. Sekitar pk. 21.15 wib di Stasiun Gubeng dekat Kali Mas di pusat kota Surabaya kami dijemput Dr. Daniel Ponco, SpB, dokter bedah yang ganteng di RS RKZ St. Vincent A. Paulo dan teman lama semasa SMA, lalu menginap di rumahnya. Rumah artistik 2 lantai di Palm Spring Regency C/99 Jambangan, Surabaya Selatan,  yang terawat baik karena tangan dingin Dr. Setyowati, isterinya yang cantik dan merupakan persinggahan pertama kami.

 100_3776  100_3782

Saat tiba di Bandara Wai Oti Maumere

Makan siang dengan Dr. Kristin

Kamis, 24 Juni 2010 pk. 09.15 kami melanjutkan perjalanan dengan pesawat Boeing 737 versi 200 Batavia Air ke Maumere, melalui Bandara Internasional Juanda yang baru dan megah. Setelah lelah dalam antrian panjang karena petugas ‘check in’ hanya seorang, kami harus singgah sebentar (transit) di Bandara Internasional Ngurah Rai di Denpasar dan Bandara El Tari di Kupang. Pada pk. 13.15 WITA kami mendarat dalam hawa panas musim kemarau di Bandara Wai Oti, sekitar 5 km sebelah timur pusat kota Maumare, di Flores bagian tengah agak ke timur. Kami dijemput Dr. Kristin, teman lama semasa kami tugas di Flores, dengan mobil Panther Touring hitam EB 1792 DA, diajak keliling kota. Kami mengingat-ingat kembali tempat yang dulu kami akrabi dan makan ikan bakar di RM Jakarta di dalam kompleks pelabuhan Maumere, yang meski padat oleh kapal, namun airnya jernih dengan banyak ikan dan kepiting di kaki dermaga. Saat lama menunggu masakan matang, kami jalan-jalan sepanjang dermaga, melihat banyak kapal berbagai ukuran yang ditambatkan, kesibukan bongkar muat peti kemas dan anak-anak yang terjun berenang ke air laut yang hampir tidak berombak sama sekali.

100_3777

Suasana pelabuhan di Teluk Maumere

Akhirnya kami mampir sebentar ke bekas RSU Dr. TC Hillers yang telah dialih fungsikan menjadi Puskesmas Berru dan Unipa (Universitas Nusa Nipa), rumah Bapak Sabinus Nabu dan isterinya, Bu Linda. Bapak Sabinus dahulu adalah Camat Lela dan ibu Linda dahulu adalah bidan Puskesmas Nanga. Dengan diantar Nong, sopir Puskesmas Beru, kami mampir ke rumah pasangan Lado dan Lies di Nita, dimana keduanya dahulu adalah karyawan Puskesmas Nanga. Setelah itu, kami numpang lewat melihat Puskesmas Nita, yang sekarang terdiri dari 2 kompleks terpisah, yaitu rawat jalan di tempat yang lama dan rawat inap yang merupakan gedung baru. Kami lanjut ke Lela, menyusuri jalan-jalan berliku yang tidak sulit untuk membangkitkan kenangan kami akan rute berliku itu, yang dahulu sering kami susuri.

100_3783

Mampir sejenak di rumah pasangan Lado dan Elis, teman sekerja di Puskesmas Nita.

Mama Sari mengenangnya karena dahulu merangkap tugas sebagai dokter gigi di Puskesmas Nanga dan Nita, di 2 kecamatan yang berbeda dan berjarak hampir 15 km. Kami semua membayangkan dengan haru, mama Sari yang duduk di bawah pohon beringin dekat pertigaan Nita, untuk menunggu angkutan umum dari Maumere. Hal itu dilakukannya 3 kali seminggu, sepulang kerja dari Puskesmas Nita, bahkan sampai saat hamil Yudhi sekalipun. Cukup sering angkutan yang lewat sudah penuh sesak dengan penumpang, bahkan bergelantungan di pintu, tangga dan atap, sehingga mama Sari kadang terpaksa menunggu lewatnya angkutan yang berikut. Hari menjelang gelap saat kami memasuki pelataran Puskesmas Nanga, berfoto dan bertemu dengan mama Burga dan mama Donce. Mama Burga adalah kader kesehatan, yang bahkan tetap ingat nama-nama kami. Kami dipeluknya satu persatu, bahkan Yudhi yang sudah jauh lebih tinggi dari badannya yang makin renta, dipandanginya tanpa berkedip dan berkomentar, ‘Yudhi su besar!’ Komentar seperti itu selalu diucapkan banyak orang yang dahulu mengenal Yudhi saat bayi, diucapkan dengan logat Maumere yang khas, sedikit keras dan meninggi pada akhir kalimat. ‘Sudah’ hanya diucapkan ‘su’, sehingga terasa aneh dan membuat dik Bimo dan dik Laras mengulanginya tanpa henti, bahkan dengan maksud menjahili, menggoda dan mengolok kakaknya.

Malam itu kami menginap di Ruang Theresia Kamar 1, kamar pasien yang setelah gempa bumi hebat Desember 1992, kami tempati. Di seberang kamar tersebut, yaitu Ruang Theresia Kamar 2 di RS St. Elisabeth Lela adalah kamar pasien yang dahulu digunakan sebagai ruang bersalin darurat pasca gempa bumi dan di kamar itu pulalah Yudhi dilahirkan, pada hari Sabtu, 22 Januari 1993. Kami semua larut dalam kegembiraan tanpa kata, keharuan tanpa terucap dan kebahagiaan tanpa henti. Setelah beristirahat sejenak, kami lanjutkan makan malam bersama para suster di biara RS dan bertemu juga dengan Dr. J. Aliandoe, SpB dan ibu. Dokter spesialis bedah asli Flores, yang setelah pensiun dari RS Atma Jaya Jakarta itu, mengabdikan diri sepenuhnya untuk karya sosial di RS St. Elisabeth Lela, sebuah teladan hidup sejati. Kami juga mengunjungi kakak Yanti, pengasuh Yudhi saat bayi dulu, yang tinggal di dekat kompleks RS dan masih menyimpan foto-foto Yudhi.

 100_3784  100_3788

Puskesmas Nanga

Dengan kakak Yanti, pengasuh bayi Yudhi

Pagi harinya, Jum’at 26 Juni 2010, dengan mobil sewaan Avanza silver L 1511 PG yang dikemudikan Yulius Lado, dahulu sopir Puskesmas Nanga, kami meninggalkan RS Lela ke arah barat untuk menuju Danau Kelimutu, yaitu danau 3 warna yang terletak di pusat kawasan Kelimutu National Park. Danau pertama dinamakan Tiwu Ata Polo, seluas 4 ha, berkedalaman air sampai 64 m, diklasifikasikan sebagai kawah aktif, dan airnya berwarna hijau. Danau kedua dinamakan Tiwu Nuamuri Koofai, seluas 5,5 ha, berkedalaman air 127 m, klasifikasi sangat aktif, dan airnya berwarna hijau muda kekuningan. Danau ketiga dinamakan Tiwu Ata mbupu, atau oma (yang berarti nenek), seluas 4,5 ha, berkedalaman air 67 m, diklasifikasikan kurang aktif dan berwarna hitam. Ketiga danau tersebut terletak di puncak Gunung Kelimutu dengan ketinggian 1640 m di atas permukaan laut, yang harus kami tempuh dalam waktu 3,5 jam dengan diselingi sarapan di RM Bethania, milik suster FMM di Wolowaru.

 100_3794  100_3796

Armada untuk menjelajah daratan Flores

Rumah adat Lio di dekat Kelimutu

Masyarakat setempat percaya bahwa arwah warga yang telah meninggal akan datang ke Gunung Kelimutu, jiwa atau maE meninggalkan telah kampung halamannya dan menetap di kawah Kelimutu untuk selamanya. Sebelum masuk ke dalam salah satu danau atau kawah, para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu masuk di Perekonde. Arwah tersebut masuk ke salah satu danau yang ada tergantung dari usia saat meninggal dan perbuatannya. Ke tiga danau terlihat seolah-olah bagaikan dicat berwarna dan warna airnya berubah-ubah tanpa ada tanda alami sebelumnya. Mineral yang terlarut di dalam air danau menyebabkan warna air akan berubah-ubah yang tidak dapat diduga sebelumnya. Susana danau Kelimutu bervariasi, tidak hanya terjadi perbedaan dan perubahan warna setiap danau, akan tetapi juga perubahan cuaca yang tidak terduga. Tidaklah aneh jika tempat yg keramat itu menjadi legenda yang sejak lama berlangsung turun-temurun. Masyarakat setempat percaya bahwa tempat tersebut adalah sakral.

 Keluarga  100_3810

Danau 1 dan 2 di Kelimutu

Danau ke 3 di Kelimutu

Gunung Kelimutu tumbuh di dalam kaldera Sokoria atau Mutubasa bersama dengan Gunung Kelido (1641 m) dan Gunung Kelibara (1630 m), ketiganya membangun kompleks yang berkesinambungan, kecuali Gunung Kelibara yang terpisah oleh lembah dari Kaldera Sokoria. Letak puncak gunung berapi tersebut terjadi karena perpindahan titik erupsi melalui sebuah celah yang menjurus dari utara ke selatan. Dari ketiga buah gunung tersebut, puncak Gunung Kelimutu merupakan kerucut tertua dan masih memperlihatkan aktivitasnya sampai sekarang, yang merupakan kelanjutan gunung api tua Sokoria. Tubuh puncak Gunung Kelimutu dibangun oleh batuan piroklastika, yang terdiri dari bom, lapili, skoria, pasir, abu, awan panas, lahar serta lelehan lava pijar. Permukaan lerengnya berkembang ke arah timur, tenggara dan barat daya, dengan topografi kasar sampai sedang. Bentuk tersebut dibangun oleh aktivitas Gunung Kelimutu muda, tetapi terhalang oleh Gunung Kelibara, sedangkan lereng barat dan utara memperlihatkan morfologi berelief kasar. Pada puncak Gunung Kelimutu terdapat 3 sisa kawah yang mencerminkan perpindahan puncak erupsi. Ketiga sisa kawah tersebut kini berupa danau dengan warna air berlainan dan mempunyai ukuran diameter yang bervariasi. Warna air danau biasanya khas, sehingga diberi nama sesuai dengan warnanya, yaitu polo (merah), fai (hijau) dan mbupu (biru). Pada saat kami datang, warna yang terlihat adalah hijau, hijau kekuningan dan hitam. Gunung Kelimutu yang kami kunjungi itu, pernah meletus dasyat pada tahun 1830 dengan mengeluarkan lava hitam (watukali), kemudian meletus kembali sepanjang tahun 1869 sampai tahun 1870. Letusan hebat itu disertai aliran lahar dan semburan debu, sehingga membuat susana gelap gulita di sekitarnya, bahkan hujan abu dan lontaran batu mencapai desa Pemo yang tercatat dalam arsip Direktorat Vulkanologi Dirjen Geologi & Sumberdaya Mineral di Kementrian Energi tahun 1990. Di Kelimutu National Park tersebut, kami sempat menyaksikan 2 dari 13 macam burung dan 4 dari 17 macam tanaman yang tercatat hampir punah, sehingga dilindungi secara ketat.

 100_3815  100_3818

Dik Bimo berpakaian adat Lio (Moat Kecil)

Di gerbang Kelimutu National Park

Perjalanan kami lanjutkan ke Ende di Flores bagian tengah, melalui jalan berliku khas dataran tinggi di seantero Pulau Flores, yaitu jalan berliku, mendaki dan menurun, dengan tebing curam di satu sisi dan jurang dalam di sisi lainnya. Kami memasuki kota Ende menjelang sore dan langsung melakukan penjelajahan dalam kota. Pertama kami mengunjungi Jl. Perwira untuk melihat Rumah Pembuangan Bung Karno. Di situ kami berteduh di bawah situs pohon sukun, tempat dimana Bung Karno mendapatkan inspirasi lahirnya Pancasila, saat dibuang Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1934 sampai 1938. Pohon sukun tersebut sekarang bercabang 5, yang dianggap melambangkan sila-sila dalam Pancasila. Kami lanjutkan dengan mengunjungi Museum Adat dan Museum Bahari yang keduanya berdampingan dan terletak di Taman Kota Ende. Di Museum Bahari kami melihat simpanan benda-benda laut yang sejak tahun 1982 dikumpulkan sedikit demi sedikit. Museum Bahari ini diresmikan oleh Pater Gabriel Goran, SVD pada tanggal 14 Agustus 1996, berlokasi di Jl. Moh Hatta Ende, saat ini memiliki koleksi 1000 spesies kerang laut, 300 spesies ikan dengan total koleksi sekitar 22.000 jenis biota laut. Kami juga mengunjungi Taman Rendo dan Monumen sebagai bukti sejarah kota Ende yang pernah menjadi ibukota daerah Flores tempoe doeloe. Terakhir kami mengunjungi Pasar Mbongawani yang merupakan pasar rakyat, menjual segala kebutuhan masyarakat, termasuk buah lokal yang terkenal pisang beranga, jeruk, alpokat dan nanas.

 100_3823  100_3825

Museum Adat di Ende

Museum Bahari di Ende

Malam itu kami menginap di biara suster SSpS di Jl. Masjid no 11. Bertemu Sr. Dr. Conchita Cruz, SSpS dan Sr. Ekarista, SSpS yang pernah kami kenal selama di Lela dahulu. Sr. Conchita adalah dokter yang berkarya di RS Lela, telah menjadi ‘ikon’ RS selama bertahun-tahun, guru bagi ketrampilan teknik bedah hampir semua jenis operasi bagi dokter umum, dan nenek suster bagi Yudhi yang saat bayinya dahulu telah digendong, sampai dengan diompoli berkali-kali. Malam itu Yudhi dan Bimo ikut serta para suster di biara melihat Brazil melawan Portugal di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, sementara kami yang lain tertidur lelap.

 100_3828  100_3832
Suasana biara suster SSpS 
di Jl. Masjid no 11 Ende 
dengan Sr. Ekarista, SSpS 
Sr. Dr. Conchita, SpSS adalah dokter 
yang berkarya di RS Lela Maumere 
dan menjadi 'ikon' RS 

Sabtu pagi, 26 Juni 2010 kami mengunjungi nDona, kediaman Uskup Agung Ende, Mgr Vincensius Sensi Potokota, Pr. Kami terkagum-kagum dengan keindahan bangunan kediaman uskup dan pemandangan alam yang tampak dari ruang tamu itu. Mgr Sensi sempat bersama kami di Lela sewaktu masih sebagai romo pembimbing frater. Setelah mencium cincin uskup, bercengkerama, didoakan, dan bahkan kemudian diberkati dengan berkat uskup, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat. Dari Ende sampai Nangaroro di perbatasan Kabupaten Nagakeo, kami menyusuri bibir pantai selatan di sisi kiri jalan dan hampir bersentuhan dengan tebing batu yang tajam di sisi kanan jalan. Suara deru ombak yang kadang sangat keras, seringkali mengalahkan suara klakson mobil yang harus dibunyikan menjelang tikungan tajam. Kami mencatat nama-nama Nangaroro dan Nangapanda di pantai selatan, kemudian mulai mendaki bukit menuju ke utara melalui Aegela, Mataloko dan Boawae sebelum kami memasuki Bajawa di puncak dataran tinggi yang sangat dingin, ibukota Kabupaten Ngada. Setelah dik Laras mabuk darat 2 kali dan dik Bimo 1 kali, kami makan siang menjelang sore di rumah makan dekat gereja, Stadion Lebijaga, dan SMAN I Bajawa. Kami sempatkan foto bersama di depan gerbang RSU Bejawa, yang mungkin sekali akan kami kunjungi lagi kelak, dalam sebuah tugas resmi.

 100_3844  100_3847
 di depan gerbang RSU Bejawa  Tikungan tajam dan berkelok
 100_3829  100_3837

Bersama komunitas suster SSpS Ende

Bersama Mgr. Vincensius Sensi, Pr Uskup Ende

Kami putuskan untuk segera melanjutkan perjalanan melalui Ai Mere di pantai selatan, kemudian mendaki bukit lagi menuju ke utara melalui Borong, sekitar 157 km dari Ende. Setelah beristirahat sejenak, kami terus ke Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai yang sama dinginnya dengan Bajawa. Kami sudah menempuh jalan amat sangat berliku dan naik turun sejauh 317 km dari pusat kota Ende. Setelah makan malam di RM Padang dekat BRI Cabang Ruteng, kami lanjutkan perjalanan sejauh 72 km lagi, untuk masuk kota Labuanbajo di ujung Flores paling barat, ibukota Kabupaten Manggarai Barat. Kami menginap di Hotel Wisata, Jl. Soekarno no 39, dan masuk hotel sekitar pk. 1 dini hari. Kami langsung terlelap dalam kelelahan hebat, meskipun sebenarnya kami bertemu dengan para staf hotel yang tidak ramah dan kamarnya yang tidak cukup bersih bersih dibanding harganya.

Setelah sarapan menu nasi kuning khas Jawa, kami dipandu menuju dermaga oleh mas Fandi Ilham, SH seorang jaksa muda di Kantor Kejaksaan Negeri Manggarai Barat, dan tetangga kami di Yogya yang agak terlupa, untunglah sempat kami ingat kembali sebelum kami tiba. Setelah foto bersama di gerbang dermaga dan melihat-lihat kesibukan dan pemandangan aktivitas dermaga, kami menuju ke Pulau Rinca, yang berarti buaya, dan merupakan pulau terdekat dari Pulau Flores yang termasuk di dalam kawasan Komodo National Park. Kami menggunakan kapal Bacukiki dan berangkat pk. 08.15. Perjalanan laut memerlukan waktu sekitar 2 jam, dan kami berlabuh di Loh Buaya, sebuah dermaga di sebuah teluk sisi timur Pulau Rinca.

100_3898

Gerbang Loh Buaya, sebuah dermaga di sebuah teluk sisi timur Pulau Rinca, tempat hidup alami bagi komodo liar

Kami langsung disambut pemandangan mengerikan, seekor komodo sedang berjemur di dekat pintu gerbang. Meskipun komodo tersebut hanya berbaring, toh kengerian tetap muncul dan bulu kuduk tetap berdiri. Salah seorang awak kapal mendampingi kami masuk gerbang menuju kantor penjaga yang biasa disebut ‘ranger’, dengan tongkat kayu sepanjang 3 m bercabang 2, dan selalu waspada berjaga-jaga. Tongkat kayu tersebut, dibawa ke manapun seorang ranger berjalan memimpin rombongan tamu, berfungsi untuk menahan leher komodo yang datang mendekat.

 100_3848  100_3873

Dengan mas Fandi Ilham, SH di Gerbang pelabuhan   di Labuan Bajo

Disambut komodo tidur (seolah dahan pohon yang tergelatak) di P. Rinca

Sesampai di kantor penjaga Komodo National Park, kami bertemu dengan banyak turis asing maupun domistik. Harga tiket masuk Rp. 75.000 per orang untuk turis domistik non Flores, Rp. 10.000 untuk turis lokal dan US $15 untuk turis asing. Setelah membayar tiket, kami didampingi ranger, seorang pria paroh baya yang terkesan berani, mulai berjalan menyusuri rute terdekat. Tersedia 3 paket rute jelajah alam, yaitu paket ‘basic’ yang hanya di sekitar kantor, ‘short’ yang perlu waktu sekitar 1 jam, ‘medium’ dan ‘complete’ yang lebih jauh dan lama. Pada rute basic itu saja, kami sempat melihat hampir 10 ekor komodo berbagai ukuran, 3 ekor kera dan 2 ekor kerbau liar yang sewaktu-waktu dapat dimakan komodo. Komodo yang kami lihat sebagian besar hanya berbaring dalam keteduhan bayang-bayang pohon atau rumah panggung para penjaga, terutama dekat dapur yang mengeluarkan bau amis ikan atau daging untuk lauk mereka. Komodo berpenciuman sangat tajam, dapat memakan rusa, kambing atau kerbau dan mampu tidak makan selama 4 bulan berturut-turut setelah kenyang.

Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis), adalah spesies kadal terbesar di dunia yang hidup di Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang dan Gili Dasami di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora. Di alam bebas, komodo dewasa biasanya memiliki massa sekitar 70 kg, namun komodo yang dipelihara di penangkaran atau kebun binatang sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar. Komodo liar terbesar yang pernah ada memiliki panjang 3.13 m dan berat sekitar 166 kg, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya. Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2,5 cm, yang kerap diganti. Air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi  jaringan gusi dan jaringan ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka. Komodo adalah hewan karnivora dan kanibal. Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai, penelitian menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara mengendap-endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika mangsa itu tiba di dekat tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya pada sisi bawah tubuh atau tenggorokan. Komodo dapat menemukan mangsanya dengan menggunakan penciumannya yang tajam, yang dapat menemukan binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5 kilometer. Dengan informasi seperti itu yang telah kami ketahui sebelumnya, maka wajar saja kalau bulu kuduk kami berdiri dan ketakutan yang muncul sangat hebat.

 100_3885  100_3892
Banyak komodo di bawah rumah panggung, 
tempat para wisatawan beristirahat

Di gerbang Komodo National Pak

Setelah puas berfoto bersama komodo tidur dalam lindungan ranger, kami melanjutkan perjalanan sampai ke liang komodo, yang banyak dibuat komodo betina sepanjang bulan Mei sampai Agustus, bertepatan dengan musim kawin. Setelah puas menjelajah pulau dan kekawatiran akan keganasan komodo mereda, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Bidadari, yang terletak di mulut pelabuhan Labuan Bajo. Di pulau itu kami ‘snorkeling’, berenang terapung untuk melihat keindahan taman laut, berjemur dan bermain pasir putih yang lembut, mencari kerang, bahkan melihat bule berjemur. Dik Bimo dan dik Laras sampai mengalami luka robek telapak kaki, sebab sering salah injak batu karang yang indah, tetapi runcing dan tajam. Sore itu kami memaksakan diri langsung pulang ke Maumere, dari Labuan Bajo sekitar pk. 16 dengan suasana hati yang lega dan puas, meski badan sudah kelelahan.

 100_3899  100_3896

Di atas kapal ke P. Rinca

Medan rute ‘basic’ di P. Rinca

Perjalanan darat pulang ke Maumere yang melelahkan, bahkan sudah menimbulkan trauma psikologis bagi anak-anak karena pengalaman buruk mabuk perjalanan, tetap harus kami jalani. Kami harus kembali ke Maumere, sebab tiket pesawat pulang yang kami beli di Yogyakarta, hanya dapat yang berangkat dari Maumere. Tiket pesawat dari Labuan Bajo ke Denpasar yang merupakan penerbangan perintis, sangat sulit diperoleh dengan sistem on line, meskipun tiket on site kadang mudah didapat, tetapi hanya untuk beberapa kursi. Rute pulang yang berliku, mendaki dan menurun, melalui bibir jurang dalam atau pantai, harus kami lahap dalam kelelahan, sehingga kami harus bergantian menjadi sopir. Akhirnya kami harus menyerah dan terdampar di sebuah kamar di Villa Silverin, di Watujaji, 7 km dari Bajawa, Kabupaten Ngada. Kami masuk kamar dengan tarif Rp. 300 rb menjelang pk.1 dini hari, dan langsung tertidur di kamar yang bagus sekali dengan udara sangat dingin.

 100_3934  100_3936

Di Museum Bung Karno Ende

Patung Kristus Raja di Katedral Ende

Setelah sarapan nasi goreng dan telor dadar, hari Senin pagi kami melanjutkan kepulangan kami dan berangkat pada pk. 7.15, saat udara luar masih sangat dingin menembus tulang. Kami lalui Mataloko dan Nangaroro, lalu Nangapanda yang sudah masuk wilayah Kabupaten Ende. Mulai dari situ, mas Yudhi bertugas menjadi sopir pengganti, sebab jalan terus ke Ende menyusur bibir pantai selatan, relatif ringan untuk ditaklukkan seorang sopir pemula. Kami masuk kota Ende sesaat sebelum tengah hari, kembali ke biara SSpS di Jl. Masjid untuk pamitan dengan Sr. Dr. Conchita Cruz, SSpS yang sangat kami hormati, juga untuk Yudhi numpang mandi, sebab mandi pagi di Bejawa yang sangat dingin, tidak berani dia lakukan. Kami berlanjut mengunjungi Gereja Katedral Christo Regi Ende. Kami terkagum-kagum atas keindahan arsitektur katedral tua, khusuk berdoa dan memohon ampun karena kami tidak sempat ikut misa hari Minggu. Setelah itu kami berfoto di depan patung ‘Christus Rex Mundi’ atau Kristus Raja Semesta Alam, yang diresmikan oleh Mgr. Abdon Longinus Da Cunha, Pr pada tanggal 24 November 2002. Setelah diselingi makan siang di RM Kelimutu di Moni, dekat gerbang Kelimutu National Park yang sudah kami kunjungi 4 hari sebelumnya, kami mampu mencapai desa Sikka menjelang senja. Di Sikka kami masih mampu melihat gereja tertua di seluruh daratan Pulau Flores dan rumah adat di bekas istana raja Sikka. Selanjutnya kami mengunjungi Wisung Fatima di Lela, sebuah tempat ibadah di lereng bukit terjal yang sudah dibangun baik, untuk berdoa kepada Bunda Maria, sayang sekali saat itu hari sudah gelap dan listrik padam.

 100_3931  100_3937

Bis kayu, angkutan darat khas Flores

Gereja Sikka yang tertua di Flores

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menempuh jarak Ende-Maumere 145 km. Perjalanan ini merupakan inti nostalgia kami ke sebuah rumah di dalam kompleks RS St. Elisabeth Lela, sebuah RS yang sudah 80 tahun melayani kesehatan masyarakat sekitar. Rumah yang kami tuju berada di samping kebun sayur, dekat kandang ayam dan di sayap atas kompleks RS itu, merupakan rumah yang kami tinggali selama hampir 3 tahun. Di rumah itulah kami mendapat banyak berkah, sejak kami datang April 1991 sampai saat kami pulang ke Jawa Oktober 1994.

100_3962

Di tengah kebun RS dalam persimpangan jalan ke rumah dinas kami, saat bertugas di RS St. Elisabeth lela, Maumere

100_3965

Bergaya di gerbang depan RS St. Elisabeth di Lela, Maumere

Saat kami datang mendekat, hati terkesiap, sanubari terharu dan jantung berdebar, mendapati suasana mistis masa lalu yang seakan datang ulang. Hanya tempat tidur besar tempat kami berbaring dan menidurkan bayi Yudhi yang diganti, perabotan lain masih tetap yang sama, terawat dan terjaga baik. Luar biasa. Kami kenang ulang berbagai peristiwa yang pernah terjadi di setiap sudut rumah itu, baik yang menyenangkan, maupun yang sangat menyedihkan di halaman depan, tempat Yudhi terjerembab dalam ‘baby walker’ yang digunakannya. Dia lepas dari pengawasan kami yang terlarut dalam makan siang, dan meluncur turun melewati teras rumah, bahkan masuk ke kebun depan rumah, yang membuatnya luka di dahi dengan perdarahan dan memar. Malam itu kami mandi, makan dan tidur di tempat dimana hal yang sama pernah kami lakukan dengan cara serupa, di tempat yang sama dan dalam suasana yang tidak jauh berbeda. Hanya kami berdua yang begitu, sedangkan anak-anak, termasuk Yudhi, sangat mungkin hal tersebut hanya merupakan sebuah program pengisi libur sekolah. Tuhan sendiri yang mengatur ini semua.

 100_3940  100_3947

Anak2 kami di depan gereja tua di Sikka

Rumah adat bekas istana raja Sikka

Pagi harinya, kami mengikuti Misa Kudus harian di kapel RS. Meski liturginya serupa, tetapi lagunya berbeda. ‘Qui bene cantat, bis orat’ atau ‘dia yang bernyanyi baik, berdoa dua kali’. Misa harian itu berlangsung 2 kali lebih lama dibanding misa serupa yang sudah kami akrabi di Yogya, sebab lagu-lagunya banyak dan lengkap, sesuai dengan teks dalam buku ‘Syukur Kepada Bapa’, cetakan XI, tahun 1981, oleh Penerbit Nusa Indah, percetakan Arnoldus, Ende. Setelah sarapan pagi, kami mengikuti Sr. Sofina, SSpS yang biasa dipanggil Sr. Nenek karena usianya, masuk ke kebun sayur, kandang ayam dan kandang babi. Penelusuran itu juga mengenang saat kami melakukan hal yang serupa 18 tahun sebelumnya, berjumpa dengan beberapa karyawan kebun yang masih saling ingat dengan kami. Setelah itu, kami keliling ke beberapa ruangan di dalam RS, bertemu dengan beberapa pegawai RS yang masih kami ingat dan sekaligus berpamitan, karena kami harus segera pulang.

100_3963

Bergaya dengan beberapa pegawai dalam seragam dinas RS St. Elisabeth Lela, Maumere

Kami kenang Sr. Helena Maria, SSpS, mama Detti Henriques, mama Ete Mertis, Br. Alex, mama Dete, mama Mia dan Erna Woga. Pegawai RS yang lain adalah generasi baru yang belum sempat kami kenal. Kami beradu kangen dengan mama Beth, wanita tua berpakaian adat Sikka yang tinggal di depan RS, bahkan memberikan salam khusus dengan cara menampar pipi kami keras-keras.

 100_3954  100_3953

Sekeluarga di teras rumah nostalgia

Mas Yudhi di kamar mandi kenangan

Perjalanan pulang kami awali dengan mampir ke rumah mama Sedis dan Om Paul, pasangan pensiunan SPK Lela dan Puskesmas Nanga, Kemudian mampir di Puskesmas Nanga yang sedang ramai dikunjungi banyak pasien. Kami puaskan rindu kami bersama mama Gonda petugas gizi, Om Kornelius perawat senior dan kepala puskesmas dengan mama Lince, isterinya yang asisten apoteker, juga Om Kons yang sempat mampir, mama Burga kader posyandu yang aktif, mama Rin Palang Keda perawat pindahan dari SPK Lela, Om Lengo petugas KB, bidan Nona Ana dan Dr. Dwi.

 100_3964  100_3970

Komunitas suster biara di RS Lela

Sebagian pagawai Puskesmas Nanga

Kami melanjutkan perjalanan ziarah dan wisata rohani, dengan mengunjungi Patung Maria Bunda Segala Bangsa di Nilo, dekat Seminari Tinggi terbesar di dunia, yaitu STFK Ledalero. Patung Bunda Maria yang berwarna putih mengkilap dan terbesar di Indonesia tersebut, diresmikan pada tanggal 31 Mei 2005. Pernah runtuh karena angin puyuh, dibangun dan diresmikan kembali pada tanggal 1 Oktober 2007 oleh Mgr. Vincensius Sensi Potokota, Pr, yang waktu itu sebagai Uskup Agung Ende dan sekaligus administrator apostolik Keuskupan Maumere. Prasasti di pusat Spiritualitas Pasionis dan tempat ziarah Maria Bunda Segala Bangsa di Nilo ditandatangani oleh wakil donatur Ibu Megawati Soekarnoputri dan Vice Provincial CP waktu itu, Pastor Sabinus Lohin, CP.

100_3972

Patung Yesus sedang berdoa pada malam sunyi sebelum ditangkap Serdadu Romawi, artistik di puncak Bukit Nilo, luar kota Maumere.

Di bawah patung besar tersebut, terpahat kata-kata bijak ‘Per Mariam Ad Jesum’, yang berarti ‘melalui Maria menuju Yesus’. Juga ‘Ina ata puku nulu’, yang berarti bunda yang tersayang, ‘ama ata gawi wa’a’, yang berarti menuju bapa dengan berjalan duluan di depan, ‘gea dena beta nain’, yang berarti dengan memberi makan anak cucu, dan ‘minu dena heron naran’ yang berarti minum agar tidak haus. Tinggi patung Bunda Maria yang berdiri di atas bola dunia itu 12 m. Patung itu diletakkan di atas rangka beton, sehingga total tinggi patung mencapai 28 m. Patung itu berada di sebuah puncak bukit di Nilo dan menghadap ke utara, seolah memberkati dan melindungi kota Maumere yang terhampar di bawahnya. Setelah berdoa secara khusus, kami lanjutkan foto bersama dalam hembusan semilir angin puncak bukit dan sengat matahari musim panas, bahkan sampai saat kami jalan turun menuju Maumere. Kami sempatkan mampir membeli cinderamata khas Sikka di sebuah kios depan Gelora Samador, menemui Drg. Toni Asaleo, teman lama kami yang sudah alih profesi menjadi pebisnis ritail atau barang eceran segala rupa, di kompleks pertokoan Maumere.

 100_3971  Pulang

Patung Bunda Maria

Awal perjalanan pulang

Kepulangan kami diawali dengan menumpang pesawat Batavia Air Y6-758 Boeing 737 seri 300, transit 20 menit di Kupang, dan akhirnya menuju Denpasar dalam waktu 1 jam 20 menit. Kami menginap semalam di rumah adik sepupu, Bulik Aning, Pak Nyoman dan anak-anaknya yang mandiri, mbak Diyah dan mas Toya, di kawasan Jimbaran, sehingga sempat jalan-jalan ke pantai Jimbaran, GWK (Garuda Wisnu Kencana) Park, Nusa Dua, Kuta dan mengunjungi rumah Bulik Sudilah, saudara sepupu Eyang Kakung Salaman dan terakhir bergaya di depan Patung Satria Gatotkaca, yang diresmikan pada tanggal 30 Oktober 1993 oleh Prof. IB Oka, Gubernur Bali saat itu. Patung putih Gatotkaca yang terbang sambil menghancurkan kereta perang musuh, meski dalam bidikan panah amat sakit Nanggala oleh Adipati Karna, gagah berdiri di gerbang Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar. Kami sampai dengan selamat di Yogyakarta pada hari Kamis, 30 Juni 2010 pk. 19.25.

 100_3977  100_4011

Di gerbang Pecatu Jimbaran, Bali

Di gerbang Bandara Ngurah Rai, Bali 
dengan Bulik Aning 

100_4007

Mampir sebentar di rumah Eyang Puteri Sudilah dan Eyang Kakung Pakpahan (sepupu jauh Eyang Kakung) di Denpasar Bali.

100_4009

Mengenang para korban Bom Bali I, di sebuah monumen pada tempat terjadinya ledakan dahsyat yang sangat disayangkan.

Perjalanan darat yang kami tempuh adalah hampir 2/3 bagian Pulau Flores, sejauh 925 km dalam medan jalan yang amat sangat berliku dan merupakan ciri khas medan daratan Pulau Flores, menghabiskan bensin 5 kali isi penuh tangki mobil (full tank), dan 4 hari cuti tahunan. Perjalanan itu ditambah 5 jam di atas kereta api, 5 jam 20 menit di atas pesawat dan 4 jam 20 menit di atas kapal. Kami telah menginjak tanah di 3 propinsi dalam 5 pulau, dan menyusuri 5 kabupaten di daratan Pulau Flores. Terima kasih kami sampaikan kepada siapapun yang telah membantu, mendoakan dan mengiringi perjalanan kami sekeluarga.

sekian

Yogyakarta, 1 Juli 2010

*) pelancong murah dan meriah, tetapi rutin setiap tahun

 Peta 1  Peta 2

Posisi Komodo National Park

yang kami kunjungi

Pulau Rinca di sebalah barat Pulau Flores

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.